Tujuan Pendidikan; Impian atau Angan-angan?

Opini545 views

Oleh: Andi Ahmadi (Aktivis Sekolah Literasi Indonesia–Dompet Dhuafa Pendidikan)

Menyoal masalah pendidikan memang tidak akan ada habisnya. Di balik sederet prestasi akademik yang membanggakan, nyatanya masih ada hal mendasar yang belum terselesaikan.

Pertanyaan paling mendasar untuk mengukur keberhasilan pendidikan adalah: Apakah tujuan pendidikan sudah tercapai? Kalaupun belum tercapai sepenuhnya, apakah ada tanda-tanda kita akan mencapainya? Pertanyaan ini tentu saja tidak bisa dijawab hanya dengan jawaban ya atau tidak.

Tujuan pendidikan nasional, sesuai yang tercantum dalam UU No. 20 tahun 2003 adalah “untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.”

Berdasarkan kalimat tersebut, bisa disimpulkan bahwa tujuan utama dari pendidikan adalah mencetak peserta didik yang beriman, bertaqwa, dan berakhlak mulia. Kompetensi lainnya adalah sebagai penyempurna.

Iman menurut para ulama adalah perkataan dalam lisan, keyakinan dalam hati, dan pengamalan dengan anggota badan. Sedangkan takwa adalah melaksanakan semua perintah Allah, menjauhi semua larangan-Nya, serta menjaga diri agar terhindar dari api neraka atau murka Allah SWT. Banyaknya kasus tawuran pelajar (202 anak di tahun 2017-2018), penyalahgunaan narkoba (5,9 juta anak dari 87 juta populasi anak), pornografi, prostitusi, hingga penganiayaan terhadap guru sendiri mengindikasikan bahwa pendidikan kita tidak sedang baik-baik saja. Lebih dari itu, pendidikan kita masih jauh dari tujuan yang dicita-citakan. Alat ukurnya jelas, yaitu iman, taqwa, serta akhlak mulia.

Sejatinya, pendidikan kita sudah memiliki pijakan yang sangat baik, berupa tujuan mulia yang termaktub dalam undang-undang dasar negara. Hanya saja, pada praktinya tujuan tersebut belum dijabarkan dan diimplementasikan ke dalam langkah nyata. Orientasi terbesar pendidikan kita masih terfokus pada aspek kognitif semata. Kurikulum belum benar-benar dirancang untuk menjadikan peserta didik beriman dan bertakwa. Bukan iman dan takwa yang sekadar sebagai pengetahuan, tetapi juga terwujud dalam sikap dan perbuatan.

Hari ini bahkan tidak ada yang bisa menjamin apakah anak lulusan SMA yang beragama Islam sudah benar akidahnya, sudah baik sholatnya, serta lancar mengajinya. Sekali lagi, tidak ada yang bisa menjamin. Barangkali kita masih ingat hasil pendataan yang pernah dilakukan Unsyiah terhadap mahasiswa baru di kampusnya. Sebanyak 82% mahasiswa baru tidak bisa membaca Alquran. Artinya, hanya 18% saja yang bisa membaca Al-Quran. Dan itupun barangkali bukan karena andil dari pendidikan formalnya, bisa jadi karena belajar dari guru ngaji atau orang tuanya di rumah.

Hal tersebut terjadi karena memang kurikulum pendidikan di Indonesia tidak dirancang sedemikian rupa, sehingga mampu menghasilkan peserta didik yang beriman dan bertakwa. Kurikulum pendidikan hari ini lebih menitikberatkan pada pengetahuan umum saja. Misalnya, lulusan SD harus bisa membaca, mahir operasi bilangan matematika, serta menguasai beberapa ilmu umum lainnya. Bagaimana ibadahnya kepada Sang Maha Pencipta, bukan menjadi prioritas utama.

Jika kita benar-benar ingin mencapai tujuan pendidikan yang dicita-citakan, yakni membentuk manusia yang beriman, bertakwa, dan berakhlak mulia, maka (pemerintah) kita harus berani melakukan perubahan besar di tubuh pendidikan kita.

Berbicara masalah pendidikan, ada empat aspek penting yang sangat menentukan; tujuan, kurikulum, program, serta evaluasi. Tujuan pendidikan kita sudah sangat baik, rasanya tidak perlu lagi diotak-atik. PR selanjutnya adalah bagaimana merancang kurikulum, program, serta evaluasi yang selaras dengan tujuan, sehingga menjadi satu kesatuan yang saling berkaitan.

Kurikulum harus mampu menjadi kendaraan yang tepat dalam upaya menuju tujuan. Dan tujuan membentuk manusia yang beriman, bertakwa, dan berakhlak mulia akan bisa tercapai manakala kurikulumnya dirancang berlandaskan keimanan dan ketakwaan. Dengan kurikulum yang berlandaskan iman dan takwa, maka orientasi terpenting dari pendidikan adalah menjadikan peserta didik semakin dekat kepada Yang Maha Kuasa.

Dalam bukunya “Pendidikan Islam Mewujudkan Generasi Gemilang Menuju Negara Adidaya 204”’ Dr. Adian Husaini mengatakan bahwa kurikulum yang berlandaskan keimanan dan ketakwaan menekankan pada penanaman adab serta penguasaan ilmu-ilmu fardhu ain dan fardhu kifayah secara proporsional. Adab dan iIlmu-ilmu fardhu ain seperti akidah, ibadah, syariah, akhlak, dan lain-lain diletakkan sebagai kurikulum inti (kurikuler). Ko-kurikulernya adalah serangkaian praktik ibadah, zikir, shadaqah, dan lain-lain, untuk menguatkan target kurikulernya. Sementara ilmu-ilmu fardhu kifayah seperti bahasa Inggris, bahasa Arab, sains, dan ilmu-ilmu lain yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat ditempatkan sebagai ekstra-kurikuler.

Lalu, bagaimana dengan sekolah yang memiliki latar belakang agama berbeda? Pada prinsipnya sama, keimanan dan ketakwaan harus menjadi orientasi utama. Tinggal disesuaikan implementasinya berdasarkan tuntunan agama masing-masing.

Setelah kurikulumnya sudah selaras, maka perlu dirancang program yang mampu menumbuhkan dan menguatkan keimanan, ketakwaan, serta akhlak mulia. Program-program tersebut harus dibuat terpadu antara pengajaran, pengamalan/pembiasaan, serta keteladanan. Untuk detailnya, pemerintah bisa meminta para ulama/cendekiawan muslim untuk merumuskan program yang lebih rinci dan operasional, sehingga hasilnya bisa lebih optimal.

Selanjutnya, untuk memastikan agar tujuan pendidikan bisa tercapai, perlu dirancang sistem evaluasi yang terpadu, yang tidak hanya mengukur kemampuan kognitif saja. Mengukur keberhasilan pendidikan hanya pada aspek koginitif akan berampak buruk pada kehidupan bangsa ini. Betapa banyak orang pintar di negeri ini, tetapi jauh dari Tuhannya. Dan ujung dari semua itu adalah lahirnya para akademisi yang sekuler, pejabat-pejabat yang korup, pemimpin-pemimpin yang tidak amanah, dan rakyat yang kurang beradab.

Iman, takwa, akhlak, tidak bisa dievaluasi secara kognitif semata. Memang benar bahwa tingkat keimanan dan ketakwaan seseorang hanya Tuhan yang mengetahuinya. Namun setidaknya bisa diukur dari ciri-ciri yang nampak, mengacu pada ciri-ciri orang beriman dan bertaqwa yang dijelaskan dalam Alquran dan Alhadits.

Aplikasi sederhananya misalnya, siswa muslim jenjang SLTP/SLTA yang melalaikan sholat lima waktu, buta aksara Alquran, maka tidak bisa lulus, sampai ia benar-benar mampu menjaga sholat dan bisa membaca Alquran. Siswa yang durhaka kepada guru, curang dalam ujian, terlibat tawuran, pecandu miras/narkoba, dan lain-lain, tidak bisa lulus sampai ia benar-benar bertaubat. Tidak peduli sepintar apapun anaknya. Dengan demikian, orientasi belajar tidak lagi sekadar untuk mendapatkan nilai akademik yang baik.

Kesimpulannya, untuk membentuk peserta didik yang beriman, bertakwa, dan berakhlak mulia, sesuai dengan tujuan pendidikan, maka kurikulum, program, dan evaluasinya harus diselaraskan. Tujuan pendidikan adalah amanat undang-undang yang harus ditunaikan, dan menjadikan pendidikan sebagai sarana meningkatkan keimanan dan ketakwaan adalah amanat Tuhan yang kelak akan dipertanggungjawabkan. Wallahu a’lam.

Komentar