UU KPK Pasca Pengesahan, Untungkan Siapa?

Opini230 views

Oleh: Ajmain Yusdin (Tokoh Pemuda Kabupaten Morowali, Sulawesi Tengah)

Akhir-akhir ini gencar pemberitaan diberbagai media yang membahas mengenai revisi Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU KPK). Dan aktor utama dalam upaya revisi undang-undang tersebut adalah pemerintah dan DPR.

Padahal wacana revisi undang-undang ini sudah tertimbun di DPR sejak beberapa tahun terakhir, namun kembali disuarakan dan berjalan mulus. Bahkan tidak tanggung-tanggung dalam rapat paripurna di Nusantara II Senayan, semua fraksi menyetujui dilakukannya revisi undang-undang ini. Sejumlah pihak angkat bicara dan menilai bahwa poin-poin dalam revisi tersebut dipandang justru akan melemahkan KPK dan mempermudah para koruptor menjarah uang rakyat.

Namun pada dasarnya revisi undang-undang tindak pidana korupsi bukan kali ini saja terjadi. Revisi undang-undang No. 3 Tahun 1971 misalnya, dilakukan revisi karena dinilai memiliki berbagai kekurangan dan kelemahan untuk menjerat para koruptor dan menghadapkannya ke pengadilan.

Kelemahan lain yang terdapat dalam UU No. 3 Tahun 1971 adalah mengenai sangsi pidana yang hanya menetapkan batas maksimum umum (20 tahun), sehingga hakim dapat bergerak secara leluasa dalam batas minimum umum dan maksimum umum itu. Kewenangan diskresi dalam menentukan sangsi pidana bagi para koruptor ini menyingung rasa keadilan masyarakat, karena dalam praktiknya terdapat kasus korupsi yang hanya dijatuhi pidana dibawah 1 tahun. Padahal korupsi adalah kejahatan berat dan memiliki dampak yang luas terhadap kesejahteraan rakyat. Akibatnya terdapat ungkapan sinis didalam masyarakat mencuri uang Rp. 100.000 dipidana 1 tahun sementara korupsi Rp. 100.000.000 dipidana 6 bulan, oleh sebab itu lebih baik melakukan korupsi daripada mencuri.

Oleh karena itu, undang-undang tersebut dianggap sudah tidak sesuai  dengan perkembangan kebutuhan hukum di masyarakat sehingga perlu direvisi dan dibuatlah Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidanan Korupsi.

Dalam Konsideran UU Nomor 1 Tahun 1999 mendasari lahirnya UU No. 30 Tahun 2002 tentang KPK, dinyatakan bahwa undang-undang ini dibentuk dengan suatu kesadaran dan pengakuan, bahwa tindak pidana korupsi yang terjadi di Indonesia selama ini sangat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara. Disamping itu, korupsi telah menghambat pertumbuhan dan kelangsungan pembangunan nasional yang menuntut adanya efisiensi tinggi. Dalam rangka mewujudkan suatu masyarakat yang adil dan makmur sebagai tujuan kebangsaan berdasarkan Pancasila dan UUD 1945, maka korupsi harus diberantas.

Berangkat dari fenomena revisi UU KPK dari masa ke masa, maka tidak mustahil dilakukannya revisi UU No. 30 tahun 2002. Hanya saja yang perlu dicermati bersama bahwa, apakah dengan direvisinya UU No. 30 Tahun 2002 penanganan korupsi bisa lebih efektif dari sebelumnya? Apakah dengan hadirnya undang-undang KPK yang baru nantinya akan dapat meningkatkan Indeks Persepsi Korupsi? Apakah dengan UU KPK yang baru korupsi dapat diberantas tanpa pandang bulu?

Hal ini bisa jadi iya bisa juga tidak. Tergantung bagaimana KPK memainkan peranya dalam memberantas korupsi. Walaupun memang beberapa draf RUU KPK ini dinilai melemahkan KPK seperti KPK menjadi lembaga pemerintah bukan lagi lembaga ad hoc independen diluar dari pemerintah, KPK di awasi dewan pengawas padahal sebelumnya sistem kontrol internal KPK melalui keputusan dan kepemimpinan bersiat kolektif kolegial, dan anehnya lagi dewan pengawas ini dipilih oleh panitia seleksi kemudian diberikan ke DPR dan melakukan fit and propertest di DPR. Lalu siapa saja dewan pengawas? Dewan pengawas ada dari DPR, ada dari pemerintah ada juga dari masyarakat. Bayangkan saja jika anggota DPR yang tersangka korupsi dan harus ke dewan pengawas terlebih dahulu untuk mendiskusikan hal ini apakah akan dilanjutkan atau tidak tentu ini akan mencederai keadilan.

Selain itu, jika selama ini penyadapan dilakukan atas izin pimpinan KPK tetapi draft RUU dari DPR dimana KPK dapat melakukan penyadapan setelah izin dari dewan pengawas. Kita bisa bayangkan jika ada pemerintah yang melakukan korupsi kemudian akan dilakukan penyadapan operasi tangkap tangan, dan harus izin terlebih dahulu kepada dewan pengawas tentu ini memperlebar terjadinya kongkalikong dengan pejabat yang akan disadap. Kemudian jika selama ini setiap penyelengara negara wajib melaporkan LHKPN ke KPK, namun dengan draf RUU dari DPR, KPK tidak lagi memiliki kewenangan mengurus LHKPN setiap pejabat negara. Jika draf RUU dari DPR diberlakukan nanti maka dikhawirkan yang paling diuntungkan adalah pejabat negara yang tersandung korupsi baik itu pemerintah, DPR maupun lembaga peradilan.

Meski demikian, tentu dengan kinerja KPK selama ini bukan tanpa cacat karena terdapat sejumlah kasus besar yang justru sampai saat ini belum juga diselesaikan oleh KPK. Kasus Bank Century misalnya, yang hingga kini belum ada ujungnya, BLBI dan lain sebagainya. Selain itu kordinasi yang kurang efektif antara KPK, Kejaksaan dan kepolisian. Adanya ungkapan cicak versus buaya dalam kasus mantan Kabareskrim Komjen Susnoduadji sebagai contoh.

Selain itu, sebagian kalangan menilai KPK selama ini lebih fokus dalam hal penyelidikan, penyidikan dan penuntutan perkara. Sehingga terkesan mengabaikan fungsi preventif (pencegahan). Padahal, lembaga anti rasuah dibeberapa negara yang memiliki skala IPK (Indeks Persepsi Korupsi) tinggi dan berhasil dalam menekan korupsi dinegaranya lebih memprioritaskan tindakan pencegahan. Lembaga tersebut seperti Independent Commision Against Corruption (ICAC) Hongkong, Corrupt Practices Investigation Bureau (CPIB) Singapura, Independent Commision Against Corruption (ICAC) New South Wales (Australia), The US Office of Government Ethics, Amerika Serikat dan Badan Pencegah Rasuah (BPR) Malaysia.

Lembaga-lembaga anti rasuah tersebut bukan berarti tidak melakukan penyelidikan dan penyidikan. Mereka melakukan penyelidikan dan penyidikan sama seperti KPK di Indonesia selama ini tetapi lebih fokus melakukan tindakan preventif (pencegahan). Oleh karena itu, KPK sebagai lembaga yang melakukan tindak pidana korupsi di Indonesia perlu kita perkuat dan support penuh dalam menangani masalah korupsi dengan mengedepankan upaya pencegahan dan tetap melakukan penyelidikan, penyidikan dan penuntutan perkara seperti biasa walaupun eksekutor penyidik yang berbeda. Karena sebagaimana yang kita ketahui bersama bahwa, korupsi adalah persoalan yang menyatu dengan kekuasaan. Hampir 2 abad yang lalu, Lord Acton dalam suratnya kepada Bishop Mandell Creighton menulis sebuah ungkapan yang menghubungkan antara korupsi dengan kekuasaan. Menurutnya, kekuasaan cenderung untuk korupsi dan kekuasaan yang absolut cenderung korupsi absolut.

Ungkapan Lord Acton ini dimaknai secara berbeda oleh Prof. Miriam Budiardjo. Beliau memaknai ungkapan tersebut bahwa manusia yang mempunyai kekuasaan cenderung untuk menyalahgunakannya, akan tetapi manusia yang mempunyai kekuasaan absolut sudah pasti akan menyalahgunakannya. Akan tetapi, penafsiran Prof. Miriam Budiarjo tersebut lebih kepada pendekatan disiplin ilmu politik, bukan pada pendekatan hukum anti korupsi, sehingga memperluas makna.

Dipenghujung tulisan ini, kita berharap agar Ketua KPK yang baru saja terpilih bisa bermental negarawan, walaupun sebelumnya mempunyai rekam jejak yang kurang bagus dan kita juga berharap KPK, melalui UU KPK pasca pengesahan ini bisa memberantas korupsi secara sistemik, mengajak semua komponen bangsa dalam orkestra bersama sehingga kita dapat mengembalikan tujuan mulia daripada hukum dan menegakkan keadilan tanpa pandang bulu.

Komentar