Oleh: Erfain, S.Sos., MA. (Peneliti Politik Unsultra-Sagan Institute)
Kajian Daerah Otonomi Baru (DOB)
Kajian otonomi baru merupakan hal yang fundamental berdemokrasi dalam pemekaran wilayah/daerah. Mengingat negara Indonesia merupakan negara yang memiliki turitorial yang begitu luas secara wilayah dan beribu kepulauan. Dalam kepemerintahan yang bersistem demokrasi saat ini, bahwa pemekaran wilayah merupakan salah satu resolusi kesenjangan dalam memajukan daerah, pada sudut kajian otonomi baru (DOB). Hal ini dapat mengisyaratkan, agar pemerintah dapat mengembangkan atau membangun daerah sesuai dengan kondisi wilayah setempat sebagaimana yang telah tercatum dalam regulasi kenegaraan.
Secara kajian, pemekeran wilayah sangatlah penting untuk menjadi salah satu instrument pemberdayaan daerah, memperpendek Span Of Control dan merebut dana perimbangan dari pusat dalam pembangunan daerah yang bersifat pembangunan multikultural di Indonesia. Setidaknya semangat “nasionalisme lokal” atau segregasi lokal perlu di kelola oleh pusat dengan bijak sehingga tidak menjadi ancaman bagi nation building dan integrasi nasional.
Sistem desentralisasi, bertujuan agar daerah tersebut mampu mengontrol dan mengembangkan potensi yang dimiliki yang di sebut sebagai (daerah mandiri) dengan melalui isntrumen pemekaran wilayah. Seiring munculnya dan berlakunya sistem pemekaran untuk wilayah yang berpisah dengan induknya tersebut, pemekaran telah mengalami perkembangan sangat signifikan, bagi daerah-daerah yang ingin berpisah dengan induknya dan di nyatakan memenuhi syarat, baik secara Fisik seperti yang termuat kedalam regulasi dengan salah syarat yaitu satu (1) kota untuk memenuhi syarat secara fisik, serta syarat Administrasi yang menyangkut kelengkapan persetujuan terhadap pemerintah daerah (Pemda), DPRD dan rekomendasi Mendagri, maupun syarat secara Teknis yang meliputi ekonomi, sosial budaya dan sebagainya.
Dalam rangka penyempurnaan regulasi pemekaran wilyah di level nasional pada implementasi di tingkat lokal, telah di perkuat kedalam konteks yuridis formal, yang bersifat Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014, (hasil dari revisi/sebelumnya UU No. 32 Tahun 2004, UU No. 22 Tahun 1999) dan PP No. 129 Tahun 2000 (Tentang Persyaratan Pembentukan dan Kriteria Pemekaran, Penghapusan dan Penggabungan Daerah). Bangunan secara teoritik, tujuan dari pada pemekaran daerah mencerminkan resolusi dalam mengatasi segala keluhan terhadap kepulauan daerah Indonesia dalam meningkatkan pelayanan, percepatan demokrasi, percepatan perekonomian daerah, percepatan pengelolaan potensi daerah, peningkatan keamanan dan ketertiban serta peningkatan hubungan serasi antara pusat dan daerah, kemampuan ekonomi, potensi daerah, sosial budaya, sosial politik, jumlah penduduk, luas daerah, serta pertimbangan-pertimbangan lain yang memungkinkan terselenggaranya otonomi seperti ketersediaan sarana pemerintahan, maupun rentang kendali, dalam Tri Ratnawati, (Pemekaran Daerah 2009).
Pembentukan Provinsi Kepulauan Buton (Kepton) telah lama dinantikan oleh masyarakat secara keseluruhan yang tergabung dalam pemekaran. Perjungan Pembentukan Provinsi Kepton memiliki kemiripan dengan pembentukan Kabupaten Buton Selatan (Busel). Sebagai batu loncatan terhadap pembentukan Provinsi Kepton berasal dari Buton Selatan dan Buton Tengah, ketika berhasil menjadi daerah otonomi baru. Sehingga mekarnya dua (2) kabupaten/wilayah yang baru memiliki otonomi ini, telah menjadikan salah satu syarat agar Kepton menjadi Provinsi yang berdiri tersendiri yang akan di ibukotakan di Kota Baubau yang berstatus kota madya, untuk berpisah dengan Provinsi Sulawesi Tenggara (Sultra) yang Ibukotanya Kota Kendari yang sampai hari ini belum terealisasi yang masih bersifat wacana. Ada beberapa kabupaten dan kota yang tergabung dalam pembentukan Provinsi Kepton diantaranya, Kabupaten Buton (Induk), Kabupaten Wakatobi, Kabupaten Buton Utara (Butur), Kabupaten Buton Tengah (Buteng), Kabupten Buton Selatan (Busel), dan Kota Baubau.
Konteks wacana pembentukan provinsi Kepton beberapa tahun ini telah lama digaungkan oleh masyakarat. Kejelasan dalam kepengurusan untuk melihat sampai dimana proses jalanya pembentukan Provinsi Kepulauan Buton (Kepton) tersebut sampai sekarang masih berstatus simpangsiur (tidak ada kejelasan). Sehingga, untuk mengetahui sampai dimana proses pencapaian kepengurusan terhadap para panitia pemekaran dalam pembentukan Provinsi Kepton baik di daerah maupun di pusat, “tidak memiliki klarifikasi tindak lanjutan yang jelas”. Ada beberapa informasi yang yang terlampir di (medsos) terkait dengan pembentukan Provinsi Kepton, seperti (“Kendari Pos Online” 2016/03/02) menyatakan, Pembentukan Provinsi Kepton, telah resmi masuk dalam draf Rancang Peraturan Pemerintah (RPP) Tentang Design Besar Penataan Daerah (Desartada) hingga tahun 2025, namun hal ini di ranah Menteri Dalam Negeri (Mendagri) belum terokomodir”, hal tersebut identik dengan pernyataan salah satu figure politik yang mengatakan “Kesiapan APBN” dalam mengalokasikan pembentukan provinsi Kepton belum memadai, ini adalah sifat wacana untuk mendiamkan masyarakat.
Beribu pertanyaan yang harus di jawab oleh pihak kepengurusan maupun pengambilan kebijakan stekhoder, agar dapat bisa terlihat dan terarah dalam melihat sampai dimana kepengurusan pembentukan Provinsi Kepton tersebut berjalan. Pertanyaan-peryataan tersebut merupakan spirit/semangat masyarakat Kepton untuk menjadi antara salah satu Provinsi yang akan di Ibukotakan di Kota Baubau. Masyarakat berharap, jika Kepton menjadi salah satu provinsi baru, maka hal tersebut dapat memanfaatkan tenaga sumber manusia (SDM) terhadap masyarakat kepton sendiri yang akan mengisi Provinsi Kepton. Ini adalah tantangan baru oleh para pejuang pemekaran baik dari pihak akademisi maupun kalangan elit politik yang sempat mewacanakan dalam Pembentukan Provinsi Kepton dimasa kontestasi Pilgub Sultra, sebagai bahasa politik dalam mengurus pembentukan Provinsi Kepulauan Buton (Kepton) agar secepatnya terealisasi.
Komentar