Saat Suami Meleleh oleh Kebaikan Istri

Artikel Lepas965 views

Ilustrasi. Foto: ruangkeluarga.id

Sebagaimana banyak laki-laki muslim lainnya di muka bumi ini, aku memiliki keinginan yang sangat kuat untuk melaksanakan salah satu Sunnah Nabi Saw-poligami. Tidak mudah bagiku untuk meyakinkan istriku untuk merelakan dirinya dimadu. Butuh waktu cukup lama, sampai akhirnya ia bisa menerima.

Seiring keinginan yang menguat untuk menikah lagi, aku mengerjakan suatu proyek bisnis dalam skala besar. Aku ingin mendapatkan banyak keuntungan dari proyek bisnis yang ini, untuk modal membahagiakan dua keluarga nantinya. Qadarullah, bukannya mendapat banyak keuntungan, aku justru mengalami kerugian teramat sangat besar—-milyaran rupiah— yang harus aku tanggung, akibat kegagalan proyek bisnis tersebut.

Aku terpuruk. Modal yang berupa investasi harus aku kembalikan kepada para investor. Aku tidak tahu bagaimana cara mengembalikan pinjaman sebesar ini. Pusing tujuh keliling. Tagihan setiap hari datang, bertubi-tubi, bertumpuk-tumpuk. Aku kian terpuruk.

Belum pernah aku merasakan sedih dan galau seperti ini sepanjang hidupku. Bahkan seingatku, semenjak aku beranjak dewasa, tak pernah lagi aku menangis. Namun kali aku benar-benar ingin menangis.

Suatu malam aku menangis terisak-isak di kamar. Berbagai rasa bergumul dalam diriku. Marah, sedih, malu, kecewa, bercampur aduk menjadi satu.

Terkejut istriku melihatku menangis terisak. Pertama kali di sepanjang hidupnya, ia melihatku menangis.

“Abang, mengapa menangis?” tanya istriku pelan. Ia memelukku.

Aku mencoba menenangkan diri. Mencari jawaban yang paling tepat untuk menjelaskan situasi rumit yang aku hadapi.

“Kamu tahu hutangku yang sangat besar kali ini…” jawabku, masih dengan berlinang air mata. Baper.

“Aku tahu, Abang sudah bercerita tentang hutang itu. Lalu mengapa menangis?” tanya istriku lembut.

“Aku harus melepas aset-aset kepemilikan kita untuk menutup semua hutang itu…” jawabku.

“Abang bisa melakukannya…. Silakan Bang. Tapi mengapa harus sedih?” tanya istriku lagi.

“Kalau aset-aset itu aku lepas, kita tidak punya apa-apa lagi Dek. Habis semua harta kita….” jawabku makin sedih.

“Masyaallah Bang, mengapa harus bersedih karena itu? Kita dulu terlahir di dunia ini dalam kondisi tidak punya apa-apa, nyatanya kita hidup dan baik-baik saja. Jadi kalau sekarang harus tidak punya apa-apa lagi, insyaallah kita juga akan hidup dan baik-baik saja….” ungkap istriku, sangat tenang.

Masyaallah, subhanallah, walhamdulillah, wala ilaha illallah, wallahu akbar !! Jawaban itu terasa sangat menyejukkan, meneduhkan, dan menenangkanku. Hilang sudah semua kekhawatiranku. Hilang sudah semua ketakutanku. Hilang sudah semua kesedihanku.

Tiba-tiba aku merasa mendapat kekuatan baru. Aku memeluk istriku kuat-kuat. Sungguh aku tak ingin melepaskannya. Aku mendapatkan suntikan semangat yang luar biasa dari ketenangan dan kelembutannya.

Hari-hari berikutnya aku mulai bangkit. Aku memulai usaha baru lagi. Sama sekali baru. Kata-kata istriku sungguh sihir bagiku, membuatku terlecut semangat baru. Aku bekerja makin keras, namun semakin berhati-hati. Aku tahu, istriku selalu mendoakanku. Ini membuatku semakin termotivasi untuk bangkit dari keterpurukan ini.

Setiap kali aku merasa terbebani masalah, aku selalu mengingat kata-kata dahsyat, kata-kata yang selalu terngiang di telinga, “Kita dulu terlahir di dunia ini dalam kondisi tidak punya apa-apa, nyatanya kita hidup dan baik-baik saja. Jadi kalau sekarang harus tidak punya apa-apa lagi, insyaallah kita juga akan hidup dan baik-baik saja”.

Betapa bersyukur dan bahagia, Allah karuniakan istri salihah, yang memberikan tenaga luar biasa besarnya kepadaku di saat-saat krisis itu. Aku tak kan pernah melupakan kebaikannya, kelembutannya, kemengertiannya. Aku benar-benar meleleh di hadapannya. Lumer. Luar biasa.

Alhamdulillah, proyek baru ini mulai menunjukkan hasilnya. Seperti kisah sinetron, Allah menolongku untuk bangkit dan akhirnya, tahun demi tahun, aku bisa menyelesaikan semua hutangku. Lega, bahagia, dan semakin bersemangat kerja.

Kini aku sudah terbebas dari hutang yang membelenggu dan membuatku sempat terpuruk. Kini aku mengelola beberapa jenis usaha, dan semuanya —atas izin Allah— sudah memberikan hasil yang sangat signifikan. Aku sudah benar-benar bangkit dan kondisi ekonomiku saat ini jauh lebih baik dibandingkan dengan sebelum terpuruk dulu.

Suatu saat istriku bertanya, “Kapan Abang mulai proses untuk menikah lagi? Sekarang kondisi ekonomi kita Alhamdulillah sudah sangat baik”.

Terhenyak aku atas pertanyaan itu. Hal yang dulu membuatku berpayah-payah mengkondisikan dia agar membolehkanku menikah lagi. Hal yang dulu aku sangat bersemangat melakukan poligami. Namun lantaran sempat terpuruk, aku tak pernah memikirkannya lagi. Kini tiba-tiba istriku mengingatkanku atas niat yang pernah aku sampaikan waktu itu.

“Aku sudah melakukannya Dek,” jawabku.

“Hah. Abang sudah menikah lagi?” tanya istriku terkejut.

“Iya Dek, denganmu. Aku merasa pengantin baru bersamamu saat ini. Aku yakin tak akan bisa menemukan wanita sebaik dirimu. Maka aku putuskan tak akan menduakanmu di sepanjang hidupku”, jawabku.

Ia segera menghampiriku, memelukku erat-erat. Bulir-bulir air bening hangat membasahi pipinya. Kami terus berpelukan, tak mau terpisahkan.

Bandung, 28 Agustus 2019
Saya tulis dari kisah nyata. Benar-benar nyata. Dikisahkan oleh pelakunya.

Cahyadi Takariawan, Penulis Buku, Konsultan Pernikahan dan Keluarga, Trainer

Komentar