Aliansi Perempuan Peduli Keluarga (APPIK) Sultra saat menggelar aksi damai menolak RUU-PKS. Foto: Istimewa.
Kendari – Rancangan Undang-Undang (RUU) Penghapusan Kekerasan Seksual (PKS) saat ini tengah dibahas oleh DPR dan pemerintah. Pro dan kontra mengenai RUU ini terus bergulir.
Di Sulawesi Tenggara (Sultra), mereka yang tergabung dalam Aliansi Perempuan Peduli Keluarga (APPIK) Sultra melakukan aksi damai menolak RUU tentang PKS, Minggu (22/9/2019).Aksi dilakukan dalam bentuk long march dengan rute eks MTQ-Masjid Raya Al Kautsar Kendari. Mereka yang tergabung dalam APPIK ini antara lain Aisyiyah Sultra, BKMT Sultra, Wanita Islam Sultra, Salimah Sultra, Perempuan PKS Sultra, RKI Kota Kendari, Al Khansa Kota Kendari, Yayasan Amal Soleh (YAS) Kota Kendari, KAMMI Sultra, dan FSLDK Sultra. Foto: Istimewa. Selain long march, aksi ini juga dilakukan dalam bentuk orasi. Secara bergantian perwakilan dari tiap organisasi menyampaikan pokok-pokok yang menjadi alasan penolakan terhadap RUU-PKS. Foto: Istimewa. Para peserta aksi membubuhkan tanda tangan pada spanduk sebagai bentuk dukungan penolakan terhadap RUU-PKS. Foto: Istimewa. Ketua APPIK Sultra Syamsuriati Musadar menyatakan penolakannya terhadap RUU ini. RUU-PKS ini kata dia, berpotensi merusak tatanan keluarga dan tahan sosial yang selama ini sudah tertanam dengan luhur pada masyarakat Indonesia. “RUU ini seakan-akan menjadi pedang yang akan membabat habis kekohan keluarga sebagai benteng terakhir dari ketahan keluarga dalam mendidik moral bangsa,” ungkapnya. Foto: Istimewa. Ia merinci beberapa poin penting yang menjadi kritik terhadap draf RUU-PKS antara lain pelecehan seksual (pasal 12), pemaksaan aborsi (pasal 15), pemaksaan perkawinan (pasal 17), pemaksaan pelacuran (pasal 18), dan perbudakan seksual (pasal 19). Foto: Istimewa. Pelecehan Seksual. Didefinisikan pada Pasal 12 sebagai Kekerasan Seksual yang dilakukan dalam bentuk tindakan fisik atau non-fisik kepada orang lain, yang berhubungan dengan bagian tubuh seseorang dan terkait hasrat seksual, sehingga mengakibatkan orang lain terintimidasi, terhina, direndahkan, atau dipermalukan. “Definisi bisa berakses pada tafsir sepihak, (1) Bisa mengkriminalisasi misalnya kritik masyarakat terhadap perilaku menyimpang LGBT. (2) Mengkriminalisasi kritik terhadap gaya berpakaian muda-mudi bahkan seks di luar nikah yang sudah demikian parah datanya. Jangan hal-hal tersebut sampai dikriminalisasi atas nama pelecehan seksual. Padahal sejatinya kritik tersebut justru menjaga moralitas generasi bangsa sesuai nilai-nilai Pancasila dan agama. Bahkan semestinya RUU mengatur dengan tegas larangan perilaku menyimpang seperti LGBT,” terangnya. Foto: Istimewa. Pemaksaan Aborsi. Didefinisikan pada Pasal 15 sebagai Kekerasan Seksual yang dilakukan dalam bentuk memaksa orang lain untuk melakukan aborsi dengan kekerasan, ancaman kekerasan, tipu muslihat, rangkaian kebohongan, penyalahgunaan kekuasaan, atau menggunakan kondisi seseorang yang tidak mampu memberikan persetujuan . “Definisi ini jangan sampai dipahami bahwa aborsi menjadi boleh selama tidak ada unsur ‘memaksa orang lain’. Tingkat aborsi di luar nikah sangat tinggi, antara lain sebagai ekses perilaku seks bebas/seks di luar nikah. Untuk mencegah hal itu maka aturan pelarangan aborsi (kecuali alasan yang sah secara medis) harus diatur terlebih dahulu dalam RUU,” katanya. Foto: Istimewa. Pemaksaan Perkawinan. Didefinisikan pada Pasal 17 sebagai Kekerasan Seksual yang dilakukan dalam bentuk menyalahgunakan kekuasaan dengan kekerasan, ancaman kekerasan, tipu muslihat, rangkaian kebohongan, atau tekanan psikis lainnya sehingga seseorang tidak dapat memberikan persetujuan yang sesungguhnya untuk melakukan perkawinan. “Definisi ini bisa ditafsirkan sepihak terhadap kearifan dalam kehidupan keluarga masyarakat beradat/budaya timur (relasi orang tua dan anak) sehingga memungkinkan seorang anak mengkriminalisasi orang tuanya yang menurut persepsinya ‘memaksa’ menikah. Padahal bisa jadi permintaan/harapan orang tua itu demi kebaikan anaknya,” bebernya. Pemaksaan Pelacuran. Didefinisikan pada Pasal 18 sebagai Kekerasan Seksual yang dilakukan dalam bentuk kekerasan, ancaman kekerasan, rangkaian kebohongan, nama, identitas, atau martabat palsu, atau penyalahgunaan kepercayaan, melacurkan seseorang dengan maksud menguntungkan diri sendiri dan/atau orang lain. “Definisi tindak pidana harus dilengkapi dengan pengaturan bahwa pelacuran dan/atau perzinahan atas alasan apapun secara prinsip Pancasila dan Agama dilarang di republik ini. Sehingga secara otomatis pemaksaan pelacuran dan/atau perzinahan menjadi tegas terlarang,” jelasnya. Perbudakan Seksual. Didefinisikan pada Pasal 19 sebagai Kekerasan Seksual yang dilakukan dalam bentuk membatasi ruang gerak atau mencabut kebebasan seseorang, dengan tujuan menempatkan orang tersebut melayani kebutuhan seksual dirinya sendiri atau orang lain dalam jangka waktu tertentu. “Definisi harus diperjelas agar tidak merusak tatanan lembaga perkawinan yang memiliki aturan/norma tersendiri secara agama, terutama dalam hal kewajiban serta adab-adab hubungan seksual suami-istri yang sah,” pungkasnya.
bni/bni
Komentar