Simalakama Raja Salman

Opini242 views

Oleh

Dr Eng La Agusu MSi

Raja Salman naik tahta dalam posisi sulit, yaitu mewarisi sikap skeptis sebagian dunia islam terhadap Arab Saudi dan ketakefisienan industri perminyakan Arab Saudi. Berpuluh-puluh tahun pasca kekalahan negara Arab terhadap Israel, peran Arab Saudi seperti jauh dari harapan. Arab Saudi menjadi sekutu utama Amerika. Itu harus dilakukan sebab pasca perang Arab-Israel tak ada lagi pemimpin di jazirah Arab, persatuan tercerai berai.

Masalah di Arab terlalu kompleks mulai dari politik perminyakan, pertarungan politik Sunni-Syi’ah yang termanivestasi hubungan panas dingin Saudi-Iran, dan konflik Israel – dunia Arab, Sejarah berdirinya kerajaan Arab Saudi juga kontroversial yang menjadi katalisator jatuhnya kekhalifahan Usmani Turki. Arab Saudi berdiri dengan fondasi penguasaan sains dan teknologi yang lemah. Mereka berdiri di atas ladang minyak.

Orang Arab mengistilahkan mengebor minyak ibarat menggali sumur. Bagimana sains bisa diperhatikan jika untuk mendapatkan uang cukup menggali di halaman rumah, bisa mendapatknya minyak. Para bangsawan yang memiliki lahan luas berarti juga memiliki ladang uang yang luas. Saking gampangnya mendapatkan minyak, Arab Saudi tak peduli dengan efisiensi dalam hal perminyakan. Minyak dijual dengan harga berapa pun mesti laku bak kacang goreng. Arab Saudi berpuluh tahun menjadi penyangga OPEC. Kebijakan perminyakan lebih banyak mengurusi suplai. Kalau harga sedang naik OPEC menggenjot suplai sebaliknya jika harga sedang turun OPEC terutama Arab Saudi mengurangi suplai. Sebabnya adalah harga minyak lebih banyak dipengaruhi oleh permintaan dan persediaan.

Berpuluh-puluh tahun Arab Saudi dan negara Arab umumnya hidup bergelimang kemewahan dari minyak. Makin tahun industri perminyakan Arab Saudi makin tak efisien. Penguasaan sains dan teknologi tak telalu diperhatikan. Di belahan dunia lain Amerika, Eropa, Jepang, dan Cina yang tak memiliki banyak cadangan minyak terus mengembangkan teknologi pengolahan minyak. Hingga kemudian. Amerika dan Cina bukannya tak memiliki cadangan minyak tapi kebijakannya adalah menghemat cadangan dalam negeri dan ekspansi besar-besaraan ke luar negeri. Amerika misalnya melarang pengeboran minyak lepas pantai.

Arab Saudi menghasilkan minyak ‘super light’ yang sangat mudah diolah. Tapi makin tahun ongkos produksi di sana makin tinggi karena inefisiensi. Pada saat bersamaan saintis sudah menemukan metode yang efisien untuk mengolah cadangan minyak yang selama ini diabaikan yaitu jenis ‘crude bitumen’ atau ‘oil-rich bitumen’. Sebelumnya cadangan jenis ini diabaikan. Cadangan aspal yang kaya minyak ini selama ini tak diolah. Sekarang sudah dapat diolah dengan ongkos produksi hampir setengah dari ongkos produksi minyak di Arab Saudi. Cadangannya juga luar biasa besar. Canada, misalnya, diperkirakan mempunyai cadangan crude bitumen 179 milliar barrel nomor dua di dunia di bawah cadangan crude oil Arab Saudi sekitar 263 milliar barrel.

Kazakstan dan Rusia juga memiliki cadangan crude bitumen. Sekarang harga minyak turun drastis setelah suplai minyak hasil olahan crude bitumen sudah masuk pasaran. Arab Saudi dan negara lain terpukul dengan turunnya harga minyak. Kelengahan dalam memupuk efisiensi industri minyak dan terlalu mengandalkan sektor perminyakan dalam pendapatan negara Arab Saudi telah menimbulkan kesulitan luar biasa, bahkan jauh lebih sulit daripada kekalahan terhadap israel.

Rakyat Arab secara umum sudah berpuluh tahun hidup dalam kemewahan dan tak peduli sains. Sekarang Arab Saudi baru menyadari pentingnya diversifikasi sektor andalan pemerintah. Itulah kondisi yang diwarisi oleh Raja Salman. Di sisi lain, dunia islam sudah skeptis terhadap Arab Saudi. Sebab dalam banyak kasus Arab Saudi mengizinkan wilayahnya untuk digunakan Amerika dalam menyerang negara-negara yang tak disukai Amerika.

Irak contohnya. Rezim Saddam Husein meski sebagian orang tak suka, tapi publik islam tak rela jika Saddam jatuh karena invasi negara barat. Dan kita tahu bahwa di masa Raja Abdullah, beliau selalu membuka pintu luas bagi Amerika menggunakan wilayah Saudi sebagai pangkalan untuk menyerang Irak. Pada saat bersamaan Iran berkampanye bahwa mereka musuh Israel meski tak sekali pun mereka berperang dengan Israel.

Tapi dengan pososi Saudi mengizinkan wilayahnya digunakan untuk menyerang negara Arab lain, dan saat bersamaan Iran berkoar-koar anti Israel semakin membuat rusak citra Saudi. Pada kasus Palestina misalnya, Iran sesumbar bahwa merekalah yang membantu Palestina padahal semua juga tahu bahwa Palestina hidup dari dukungan hampir semua negara berpenduduk muslim mayoritas. Arab Saudi dan Uni Emirat Arab membantu dengan caranya sendiri.

Pengungsi Palestina di Saudi dan UEA menikmati keistimewaan. Mahasiswa Palestina bertebaran di seluruh dunia dengan beasiswa Saudi. Mahasiswa palestina di luar negeri misalnya, mereka mempunyai hak pulang pergi sekali setahun ke Saudi atau UEA gratis. Bantuan ekonomi terhadap Palestina langsung tentu sangat besar. Tapi untuk suplai persenjataan tentu saja tak mungkin Saudi sesumbar seperti Iran. Sebab Saudi adalah sekutu utama Amerika. Saudi diyakini membantu dengan cara tak langsung soal persenjataan.

Bagimana Pejuang Palestina bisa bertahan di tengah embargo Israel jika tak dibantu negara lain? Dan sangat masuk akal jika Saudi termasuk yang berperan dalam bantuan terhadap Palestina sebab merekalah yang terkaya. Kembali ke soal simalakama yang dialami Raja Salman, beliau punya sikap berbeda dengan raja Abdullah. Beliau lebih keras dalam hal membela negara islam tetangganya. Itulah sebetulnya sikap yang diinginkan oleh dunia islam puluhan tahun. Makanya, saat di Yaman terjadi kudeta oleh para militer binaan Iran, Saudi bereaksi keras.

Raja Salman langsung mengumumkan perang terbuka membantu Yaman. Celakanya, karena kebencian akibat sikap Saudi sebelumnya sudah akut maka sikap Raja Salman saat ini dinilai negatif juga sebab dituduh membombardir saudara muslimnya sendiri. Sebab yang melakukan kudeta bukan Amerika atau Israel, tapi boneka Iran. Padahal dalam pandangan Saudi, Iran juga adalah bahaya bagi kawasan Arab khususnya Saudi. Bukankah sudah berberapa kali terjadi serangan terhadap Arab oleh elemen-elemen dalam negeri yang didukung Iran? Jadi kalau kita berpikir jernih, sikap keras raja Salman termasuk keberhasilannya membentuk aliansi negara-negara berpendunduk mayoritas muslimn dalam membantu Yaman adalah merupakan harapan masyarakat sejak dulu.

Saudi di bawah Salman telah menjelma sebagai pemimpin Arab. Dan itu tak disukai Iran dan Israel. Sebab Iran sendiri ingin menjadi pemimpin di Arab, sementara Israel tak mau ada pemimpin di Arab yang bisa mengancam eksistensi israel di masa datang. Persatuan Arab adalah ancaman bagi israel. Persatuan Arablah yang bisa membuat Saudi lepas dari cengkeraman Amerika. Kalau Saudi sudah menemukan aliansi baru menghadapi ancaman sewaktu-waktu Israel, maka mungkin saja di masa datang Saudi bukan lagi anak emas Amerika. Sayang, Salman mewarisi sikap boros rakyat para pengeran dan rakyat Arab keseluruhan. Salman mewarisi harga minyak yang terpuruk sementara ekonomi Saudi separuhnya disokong oleh minyak.

Muhibah raja Salman ke Asia merupakan sinyal lain bahwa dia berbeda dan masa depan Saudi. Dia mulai melakukan diversifikasi pendapatan Saudi melalui investasi di sektor bervariasi. Dan jika Saudi dapat melewati situasi sulit ini bersamaan dengan kemampuannya menjadi pemimpin seperti terbentuknya aliansi baru-baru ini, maka di masa datang Saudi bisa kembali meraih simpatik dunia islam secara perlahan.  Ahlan wa sahlan Raja Salman

Komentar

Baca Berita