Infrastruktur Tepat Sasaran atau Salah Anggaran?

Opini356 views

Oleh: Ulfah Sari Sakti, S.Pi (Jurnalis Muslimah Kendari)

Sarana transportasi fisik seperti jalan merupakan faktor penentu kelancaran pembangunan di suatu wilayah, sehingga kondisinya harus tetap terjaga dengan baik. Tidak ada alasan bagi pemerintah untuk tidak memperhatikannya. Sehubungan dengan hal tersebut, sempat viral diberitakan melalui situs detiksultra.com (11/3/2019), amblasnya jalan yang mengundang kemacetan di Kelurahan Rawua Kecamatan Sampara Povinsi Sulawesi Tenggara (Sultra), kondisinya kini semakin mengkhawatirkan. Pemerintah sama sekali belum melakukan apa pun untuk memperbaikinya, padahal kondisi ini sudah berlangsung berminggu-minggu.  Pantauan Detiksultra.com dilokasi, keadaan jalan terlihat semakin parah dan ruas-ruas jalan terlihat semakin longsor. Jalan yang tadinya selebar lima meter, kini hanya tersisa dua meter. Selebihnya telah terbawa longsor. Jalan itu kini hanya bisa digunakan satu jalur saja, menyebabkan kemacetan hingga sepanjang tiga kilometer.

Islam Menjamin Kesempurnaan Ketersediaan Sarana Fisik Jalan

Di dalam buku The Great Leader of Umar bin al-Khaththab, hal 314-316, dikisahkan Khalifah Umar Al Faruq menyediakan pos anggaran khusus dari Baitul Mal untuk mendanai infrastruktur, khususnya jalan dan semua hal yang terkait dengan sarana jalan. Yang mana anggaran ini bukan berasal dari utang. Khalifah Umar juga menyediakan sejumlah unta utuk mempermudah perpidahan orang yang tidak memiliki kendaraan antara berbagai jazirah Syam dan Irak. Umar Al Faruq juga mendrikan rumah singgah yang disebut Dar ad-Daqiq. Rumah singgah ini adalah tempat penyimpanan sawiq, kurma, anggur dan berbagai bahan makanan lain yang diperuntukan bagi ilmu sabil yang kehabisan bekal dan tamu asing.

Khalifah Umar melalui gubernur-gubernurnya sangat peduli dengan perbaikan jalan,  ketika  membuat perjanjian antara para gubernur dibawah pimpinannnya dengan berbagai negara yang berhasil ditaklukan. Ketika Nahawand ditaklukan, para pemilik sumur di kawasan Hardzan dan Dinar datang dan meminta. Hudzaifah memberikan jaminan keamanan.  Sebagai imbalannya mereka membayar upeti. Selain itu, mereka berkewajiban menunjukan jalan pada Ibnu Sabil, memperbaiki jalan dan menjamu tentara muslim saat melewati kawasan mereka, mengizinkan untuk singgah selama satu hari satu malam dan memberi nasihat. Kisah ini menunjukan bahwa khalifah Umar Al Faruq telah menerapkan syariat Islam secara kaffah, karena dalam Islam, jalan termasuk dalam kepemilikan umum karena merupakan fasilitas umum, sehingga pengelolaannya wajib dilakukan oleh negara, bukan swasta.

Terdapat pula masa khalifah Umar bin Khattab, beliau membangun kanal dari fustat ke laut merah untuk memudahkan akses perdagangan. Membangun kota dagang Basrah yang merupakan jalur dagang ke Romawi dan membangun kota dagang Kuffah yang merupakan jalur dagang ke Persia.  Umar juga memerintahkan gubernur Mesir membelanjakan sepertiga pengeluaran infrastuktur dan lainnya, yang mana semua itu tidak membuat neraca keuangan defisit.

Era kepemimpinan Islam (Khilafah), Baitul Mal pun dimaksimalkan fungsinya sebagai bendahara negara (layaknya Departemen Keuanga saat ini).  Pada hakikatnya fungsi Baitul Mal  yaitu mengelola keuangan negara menggunakan akumulasi dana yang berasal dari pos-pos penerimaan seperti zakat, kharaj, jizyah, khums, fay, dan lainnya melakukan pembangunan di segala bidang. Keputusan dan segala kebijakan pada Baitul Mal dilakukan oleh khalifah.

Membangun tanpa utang luar negeri, apalagi utang dari negara kafir sangat penting dilakukan mengingat utang yang berbunga termasuk riba (terdapat bunga dalam cicilan utang tersebut). Belum lagi intervensi yang akan dilakukan negara kafir tersebut, karena negara tidak lagi mandiri dan leluasa akibat utang tersebut.

Abdurrahman al-Maliki mengungkap lima bahaya besar dari utang luar negeri sebagai instrumen penjajahan gaya baru. (1) utang membuat masyarakat negara peminjam semakin menderita, contohnya Mesir dijajah Inggris melalui jalur utang, begitu pula dengan Tunisia yang dicengkeram Perancis (2) sebelum utang diberikan, negara donor harus mengetahui kapasitas dan kapabilitas (potensi) segala bidang yang dimiliki negara peminjam, tidak terkecuali sistem pertahanan keamanan (3) pemberian utang adalah sebuah proses agar negara peminjam tetap miskin dan ketergantungan (4) menjadikan negara peminjam sebagai alat sekaligus ajang untuk mencapai kepentingan serta (5) utang sangat melemahkan dan membahayakan sektor keuangan (moneter) negara peminjam. Karena dalam jangka pendek akan memukul mata uang domestik, sedangkan dalam cangka panjang semakin mencengkeram APBN.

Adanya fakta keberhasilan sistem pemerintahan Islam (khilafah) dalam bidang infrastruktur tersebut, diharapkan dapat menjadi referensi kita untuk mengkaji ulang pilihan sistem kita dalam mengelola infrastruktur. Semoga Indonesia dapat menerapkan sistem Islam secara kaffah, secepatnya. Wallahu’alam bishowab[]

Komentar