Jargon Basi Demokrasi

Opini1,446 views

Oleh: Nurul Wahyuni Agustina (Mahasiswi Biologi UHO)

Berlalunya pesta Demokrasi beberapa waktu lalu tampak tak segan meninggalkan puing-puing kelam bagi rakyat. Bagaimana tidak, hingga Senin (22/4) pukul 16.15 WIB dilaporkan bahwa terdapat 90 petugas Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS) yang meninggal dunia, disusul 374 orang menjalani perawatan karena sakit.

Dilansir dari detiknews.com (25/04), Komisi Pemilihan Umum (KPU) mengatakan jumlah petugas KPPS yang meninggal dunia bertambah menjadi 144 orang dan petugas yang sakit sekitar 833 orang. Jumlah ini tidak hanya dari satu daerah melainkan berasal dari 19 provinsi, diantaranya adalah DI Yogyakarta, Banten, Sulawesi Tenggara, Jawa Timur, Kalimantan Timur, Sumatera Selatan dan Jawa Tengah. Petugas KPPS yang sakit ataupun meninggal diduga kelelahan akibat beban kerja yang berat dalam penyelenggaraan pemilu tahun ini.

Realita tersebut memunculkan pertanyaan besar. Akankah Demokrasi membawa perubahan seperti apa yang diimpikan oleh rakyat?

Jargon “Dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat” menjadi salah satu magnet andalan untuk menarik simpati rakyat agar terus menaruh harapan di pundak Demokrasi. Padahal jargon ini telah lama basi. Umpama makanan basi, jargon ini telah dipenuhi oleh jamur, dirombak dan akhirnya hilang dari tubuh demokrasi. Faktanya, jargon ini tidak pernah terwujud nyata dalam masyarakat. Demokrasi yang diharapkan mampu membawa perubahan untuk rakyat, berbalik menjadi predator yang menelan korban hanya untuk menggelar pestanya.

Mirisnya, nyawa ‘pahlawan’ Demokrasi dibayar dengan kecurangan yang meramaikan pentas hasil pemungutan suara. Badan Pemenangan Nasional (BPN) Prabowo-Sandi menemukan adanya 1.261 tindakan kecurangan dalam pemilu 2019 (20/04). Sementara Tim Kampanye Nasional (TKN) Jokowi-Ma’ruf mengklaim telah menerima 25.000 laporan terkait dugaan kecurangan dalam pemilu 2019 (25/04).

Jika sudah seperti ini, mimpi rakyat atas pesta Demokrasi untuk mampu menjadi wasilah (sarana) untuk meraih perubahan ditengah kondisi negeri yang ‘ngenes’, bagai pungguk merindukan bulan.

Politik Demokrasi: Penguasa Kenyang, Pengusaha Senang

Paradigma politik Demokrasi memandang bahwa sebuah kekuasaan adalah perangkat bagi penguasa berikut delegasinya untuk memuaskan pelampiasan nafsu atas materi. Pandangan ini tidak terlepas dari pengaruh paham Kapitalisme yang mengakar pada sistem kehidupan dunia saat ini, tidak terkecuali Indonesia.

Kekuasaan bukannya dijadikan wasilah untuk membangkitkan rakyat tetapi untuk mengenyangkan perut penguasa serta menyenangkan para pengusaha agar mudah menginvasi sektor-sektor strategis dalam negeri. Sederhananya, siapa pun yang berkuasa akan memegang kendali perekonomian negeri.

Oleh sebab itu, mahar politik Demokrasi harga selangit sudah menjadi rahasia umum. Tapi mereka yang terlanjur ‘mabuk’ kekuasaan tidak akan ragu ‘meminang’ Demokrasi. Jika tidak cukup dengan dana pribadi, maka kucuran rupiah dari pihak asing akan turut membantu.

Derasnya aliran dana asing untukpasar saham dan obligasi selama pergelaran pilpres 2019 menjadi saksi bisu perselingkuhan penguasa dan pengusaha di belakang rakyat. Bahkan aliran dana asing tahun 2019 diperkirakan bisa lebih dari US$ 6 miliyar atau setara dengan Rp.84,35 triliun, lebih besar dari tahun 2018 (18/04). Bisa dibayangkan bagaimana bengkaknya catatan utang negara yang ujungnya akan berimbas pada rakyat.

Paradigma Politik Islam

Berbeda dengan Demokrasi, paradigma politik Islam menempatkan kekuasaan sepenuhnya untuk mengurus rakyat sesuai dengan aturan dari Allah SWT. Tidak perlu mahar politik, penguasa akan dipilih secara sukarela oleh rakyatnya melalui bai’at. Rakyat berhak meminta penguasa mundur dari jabatannya jika dianggap tidak layak mengurusi mereka.

Politik Islam juga memposisikan penguasa sebagai ‘pelayan’ bagi rakyat bukan bagi pengusaha. Semua pengaturan rakyat dalam politik Islam dijalankan di atas ketakwaan kepada Allah SWT.

Maka dari adanya perbedaan tersebut seharusnya sudah bisa ditebak sistem mana yang bisa membawa perubahan hakiki. Sehingga, bukankah menjadi sebuah keanehan tatkala penguasa saat ini masih saja gigih mempertahankan aturan yang menyengsarakan rakyat? Wallahua’lam bi ash-shawab.

Komentar