Oleh: Hasrianti (Mahasiswi P. Kimia UHO)
‘Millennial generation of carriers of change’ yang berarti generasi milenial pembawa perubahan. Istilah ini sering kali disematkan untuk para generasi yang masuk dalam kategori milenial. Siapa yang tak kenal dengan kata ‘milenial’? Disebut sebagai generasi gen Y ditandai dengan era kemajuan revolusi industri 4.0.
Dewasa ini seiring dengan perkembangan zaman perubahan dititik beratkan pada pundak generasi muda. Harapannya akan lebih membawa perubahan yang jauh dari sebelumnya. Baik dari segi moral, akademik, intelektual, ilmu agama, sopan santun, akhlak, dan karya cipta. Sepanjang sejarah generasi selalu menjadi garda terdepan dalam perubahan bangsa.
Sayang seribu sayang, semua harapan yang disematkan tampaknya kini pudar, justru meningalkan jejak-jejak kerusakan yang tidak mencerminkan pembawa perubahan. Generasi yang bersikap amoral dan bergaya hidup liberal, apakah mampu mewujudkan perubahan?
Faktanya tidak, dapat kita lihat dari masa ke masa generasi milenial justru semakin memprihatinkan, virus pemikiran dan budaya Barat, suskes mengantarkannya ke gerbang kehancuran. Aktivitas pacaran, gaul bebas, free sex, aborsi, narkoba, buyling, kejahatan fisik, dan LGBT, turut mewarnai kehidupan generasi milenial. Hal ini membawa pada keterpurukan krisis moral dan lemahnya iman.
Potret Demoralisasi Generasi Milenial
Beberapa waktu lalu jagad maya dihebohkan oleh kasus buyling atau lebih tepat disebut tindakan kekerasan fisik terhadap siswi SMP atas nama Audrey. Sorotan terhadap kasus ini berawal dari munculnya tagar #JusticeforAudrey di media sosial Twitter.
Rupanya, kasus ini juga berawal dari media sosial hanya karena persoalan perasaan, hingga ahirnya saling melempar kata. Hal itu terungkap berdasarkan pengakuan tujuh dari 12 siswi SMA yang terkait dugaan kekerasan ini. Mereka buka suara usai dimintai keterangan oleh polisi di Polresta Pontianak. Korban pun mengalami trauma hebat, dan kini harus dirawat di Rumah Sakit yang kabarnya juga terdapat luka memar di bagian organ vitalnya. (www.newsdetik.com 10/4/2019).
Menurut data KPAI, jumlah kasus pendidikan per tanggal 30 Mei 2018, berjumlah 161 kasus, adapun rinciannya; tawuran sebanyak 23 kasus atau 14,3 persen, kekerasan dan bullying sebanyak 36 kasus atau 22,4 persen, korban kebijakan (pungli, dikeluarkan dari sekolah, tidak boleh ikut ujian, dan putus sekolah) sebanyak 30 kasus atau 18,7 persen. (www.nasional.tempo.co 23/6/2018).
Tidak berhenti hanya pada kasus buyling, tawuran, kekerasan fisik, rentetan kasus demoralisasi lain juga terjadi. Tren pacaran para remaja rata-rata dimulai pada usia 15-17 tahun. Perilaku pacaran yang tidak sehat dapat menjadi awal perilaku seksual yang menyimpang, misalnya hubungan seksual pranikah yang bisa mengakibatkan konsekuensi pada masalah kesehatan seperti penularan IMS (Infeksi Menular Seksual), kehamilan remaja, dan masalah sosial lainnya (www.healtdetik.com 9/10/2018).
Data dari Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI) mengungkap sekitar 2 persen remaja wanita usia 15-24 tahun dan 8 persen remaja pria di rentang usia yang sama, telah melakukan hubungan seksual sebelum menikah. Alhasil, dari kasus free sex menyusul tingkat aborsi yang cukup tinggi di Indonesia. WHO merilis data aborsi Indonesia pertahunnya sebanyak 2 juta kasus aborsi. Jika dipilah pelakunya adalah remaja dengan rentang umur terbilang muda. (www.kompasiana.com 8/1/2019).
Selain itu, kasus demoralisasi yang lain juga yakni LGBT yang turut membawa keresahan tersendiri bagi masyarakat khususnya orang tua. Bagaimana tidak jaringan LGBT mulai menyusupi para pelajar. Seperti yang terjadi beberapa bulan lalu di Garut ramai diperbincangkan sebuah grup LGBT di Facebook yang anggotanya pelajar SMP/SMA asal Kabupaten Garut. Berdasarkan hasil penyelidikan terdapat sekitar 2.500 orang anggota grup. (www.newsdetik.com 9/10/2018).
Wakil Gubernur Sumatera Barat, Nasrul Bait mengatakan jumlah LBGT di Sumbar terbanyak di Indonesia. Berdasarakan hasil data itm konselor penelitian perkembangan penyakit HIV dan AIDS, angka LBGT Sumbar tercatat 18.000 orang. (www.tribunnews.com 24/2/2019).
Sungguh miris, pemikiran sekuler telah menggerogoti pemikiran generasi milenial. Perlahan mengikis keimanan dan ketaqwaan, norma-norma tak lagi menjadi patokan apalagi hukum agama. Rusaknya generasi tak terlepas dari rapuhnya pendidikan dalam keluarga. Anak harus ditanamkan rasa malu sejak dini, begitupun mememenuhi pendidikan akidahnya.
Keadaan ini semakin diperparah dengan krisis ekonomi, banyak orang tua yang lalai dari tanggungjawabnya mendidik dan hanya sibuk dengan pekerjaan. Di tengah kesibukan orangtua, maka generasi pun dengan mudah terpapar pemikiran sekuler. Ditambah lagi kurangnya pemahaman agama dari para orang tua dan lemahnya ukhuwah masyarakat, keadaan ini sukses menciptakan masyarakat yang apatis.
Selain itu, lingkungan sekolah dengan sistem kurikulum sekuler sangat berpengaruh terhadap perilaku, bahkan perlahan mengikis ajaran agama disekolah, bukan hanya di sekolah-sekolah tetapi juga di jajaran Universitas. Kurikulum sekuler berusaha ditancapkan dengan beragam program, seperti World Class University (WCU), pertukaran mahasiswa luar negeri, dan basis pendidikan revolusi industri 4.0, semata generasi diarahkan hanya untuk mengawal revolusi industri yang kehilangan arah dari tujuan hidupnya.
Peran tekonologi pun tak bisa dipungkiri, kemudahan akses sosial media maupun media cetak memungkinkan pornografi, pornoaksi, game, film amoral dan hoax bebas merajalela, beragam aplikasi baru turut menjadi pendukung rusaknya moral generasi, seperti tik-tok yang banyak menjerumuskan sebagian besar muslimah bebas bergaya di depan publik, dengan mengindahkan rasa malu aurat mereka terlihat.
Bias dari bebasnya teknologi juga memunculkan youtuber-youtuber dikalangan remaja yang mempertontonkan hal unfaedah. Barat juga semakin gencar menawarkan fashion, food, and fun sebagai senjata ampuh yang cukup melenakan. Kini generasi milenial berubah menjadi generasi narsis yang krisis moral dan iman. Menyikapi berbagai potret buram perilaku menyimpang milenial, terbesit pertanyaaan siapa yang harus bertanggung jawab?
Tentu ini harus menjadi tanggungjawab semua pihak, baik itu orang tua, guru, maupun negara, karena mereka yang berperan dalam proses pendidikan generasi.
Cengkraman sistem kapitalisme telah berhasil membuat pendidikan akhirnya mengikuti arah pandang barat dan dinilai telah gagal mendidik generasi. Paradigma pendidikan kapitalis hanya bertujuan membentuk pribadi materialistik, hedonistik, individualistik, dan tidak sejalan dengan aturan agama. Hasilnya, potret pendidikan saat ini sarat dengan kondisi yang memprihatinkan.
Aspek ekonomi dan sosial berbasis kapitalisme juga turut berpengaruh terhadap moral. Sistem kapitalisme terbukti gagal dalam menyelamatkan generasi, dan strategi pegentasan kasus demoralisasi oleh pemerintah hanya bersifat parsial saja.
Mendidik Generasi dengan Islam
Berbeda dengan kapitalisme, Islam sebagai agama yang sempurna memiliki seperangkat aturan yang khas mengatur seluruh aspek kehidupan manusia. Membentuk generasi yang memiliki moral dan kepribadian khas, yaitu terbentuknya iman yang kokoh dalam setiap individunya.
Menjadi millenial Islam tidak cenderung kaku, selain dituntut soal ilmu agama, Islam juga mendorong generasi muda menempa mereka berfikir kreatif dan berkarya, seperti dalam hal mengenyam pendidikan tinggi, mengkaji ilmu sains dan teknologi modern.
Generasi milenial bebas berekspresi selama tidak melanggar hukum agama yang berlaku, misalnya berpakaian dengan tujuan memenuhi kewajiban menutup aurat. Islam dalam mendidik generasi menanamkan ketaqwaan dan keimanan yang kokoh dari setiap individunya. Selain itu penerapan hukum syariat turut mengatur generasi dalam kehidupan sehari-hari.
Orang tua berkewajiban memberikan pengajaran tentang kepribadian sejak dini. Menanamkan nilai-nilai Islam adalah yang utama bagi mereka. Begitupun islam menciptakan masyarakat yang peduli untuk mengontrol generasi.
Hukum islam juga memfilter hal yang berkaitan denganfashion, food, and fun yang berasal dari dunia barat. Islam juga mengatur penggunaan teknologi hingga tak ada ruang munculnya penyalahgunaan atau mengambil keutungan termasuk aplikasi, penyebaran hoax, dan konten-konten unfaedah.
Dunia pendidikan juga diatur dengan kurikulum berbasis islam hingga tak ada cela masuknya pemikiran Barat. Sebagaimana umat islam terdahulu bukan hanya berakhlak mulia, menguasai ilmu islam, tapi juga mahir dalam teknologi dan sains. Generasi islam juga ditempa menjadi seorang pemimpin dan pejuang dijalan Allah.
Siapa yang tak kenal dengan Zaid bin Tsabit dalam usia 13 tahun ia menjadi penulis wahyu dan mampu menguasai bahasa asing sehingga didaulat menjadi penerjemah Rasulullah ﷺ, ia juga seorang penghafal Alquran.
Ada pula Zubair bin Awwam saat berusia 15 tahun menjadi orang pertama yang menghunuskan pedang di jalan Allah. Menyusul Muhammad Al fatih penakluk Konstatinopel usia 22 tahun, Ali bin Abi Thalib menghafal Alquran dalam usia sangat muda, dan Imam Syafi’i sebagai ulama besar yang terdidik sejak kecil.
Dalam dunia kesehatan ada Az-Zahrawi orang pertama yang menemukan teori bedah dengan menggunakan suntik, berhasil mengarang buku ilmu bedah yang saat ini dipakai oleh seluruh dunia.
Seorang Ibnu al-Haytam sebagai penemu pertama dalam pengembangan teknologi kamera dengan kemampuan optik sederhana di masa islam dahulu. Masi banyak lagi contoh generasi di masa islam yang patut dicontoh. Semua ini tak lepas dari peran orang tua dalam mendidik, sistem pendidikan islam, dan penerapan syariat Islam secara kaffah. Tsaqofah islam serta penerapan hukum islam sangat mendukung terbentuknya generasi islami. Salah satu kebutuhan umat yang dapat terpenuhi yaitu pendidikan gratis.
Sistem Islam menjaga generasi muda sebagai aset bangsa, sebagaimana pernah terbukti kurang dari 1400 tahun lamanya. Penerapan syariat islam dalam kehidupan termasuk sistem pendidikan islam hanya dapat terwujud dalam naungan peradaban islam. Wallahu’alam bishowab.
Komentar